
Partai Persatuan Pembangunan (PPP) membuat langkah strategis yang menggegerkan panggung politik nasional . Ketua Umum terpilih PPP, Bapak Muh. Mardiono, memimpin langsung kunjungan silaturahmi ke Pimpinan Pusat Syarikat Islam (PP SI) di Kantor DPP Syarikat Islam, Jl. Taman Amir Hamzah no 2 Jakpus pada Jum’at (31 Oktober 2025)
Terminologi tertemuan diibaratkan sebagai “JANDAKOE KETUM PPP BERKUNJUNG KE DPP SYARIKAT ISLAM,” menandai upaya signifikan PPP untuk kembali merangkul organisasi-organisasi Islam tertua di Indonesia.
Kunjungan terlihat istimewa, bukan hanya karena dihadiri oleh jajaran penting PPP dan Presiden/Ketua LT Syarikat Islam, namun juga karena deretan narasi yang mengiringinya.

Beberapa minggu sebelumnya, komunikasi awal telah terjalin melalui Sekretaris Jenderal PPP, Taj Yasin. Penekanan utama dari pihak Syarikat Islam adalah klarifikasi tegas: mereka “BUKAN PARTAI” tetapi “ORGANISASI DAKWAH EKONOMI UMMAT ISLAM.”
Hal ini menegaskan posisi Syarikat Islam sebagai entitas sosial-keagamaan yang independen, yang memiliki akar sejarah jauh sebelum kemerdekaan dan partai politik modern.
Merajut Kembali Hubungan Historis Umat, pertemuan silaturahmi yang hangat ini mempertemukan Ketua Umum PPP yang baru, Muh. Mardiono, dengan Presiden LTSI beserta Wasekjen LT Syarikat Islam.
Materi diskusi diperkirakan berkisar pada isu-isu keumatan, ekonomi kerakyatan, dan peran strategis umat Islam dalam pembangunan bangsa.

Kehadiran pemimpin partai berlambang Ka’bah ini di markas organisasi yang pernah melahirkan tokoh-tokoh pergerakan nasional memberikan sinyal kuat tentang komitmen PPP untuk merevitalisasi basis massanya yang selama ini terfragmentasi.
Retorika yang diusung oleh pihak Syarikat Islam sangatlah tajam dan menggugah.
“SEMOGA PPP KEMBALI KE KHITAHNYA PARA PENDIRI PPP SEBAGAI PARTAI ULAMA & SANTRI LAGI.” Pernyataan ini secara implisit merupakan kritik yang sangat membangun sekaligus harapan.
Ia menuntut PPP untuk melepaskan diri dari kepentingan politik pragmatis semata dan menegaskan kembali identitas ideologisnya sebagai wadah politik yang memperjuangkan aspirasi dan nilai-nilai keislaman, sebagaimana diamanatkan oleh para pendirinya.

Kunjungan ini dimaknai sebagai upaya PPP untuk memperkuat legitimasi kepemimpinan barunya di mata tokoh-tokoh dan organisasi-organisasi Islam tradisional.
Dengan Syarikat Islam yang merupakan salah satu tonggak pergerakan dan ekonomi umat, dukungan moral dari organisasi ini bisa menjadi modal penting bagi PPP dalam menghadapi Pemilu mendatang, terutama dalam menarik suara dari kalangan santri dan pegiat ekonomi syariah.
Pertemuan antara PPP dan Syarikat Islam sebagai momentum penting, bukan sekadar kunjungan biasa, melainkan deklarasi politik dan spiritual.
Memastikan bahwa kiprah politik mereka selaras dengan cita-cita besar para ulama dan santri yang telah berjuang sejak era pergerakan. Pertanyaannya kini, mampukah PPP menerjemahkan ‘khittah’ ini menjadi kebijakan yang aktual?
(MY/Lbs)






